Ampas Kopi

Kopi susu yang sedari tadi menghangatkan ujung-ujung kesadaranku tak terasa sudah tersisa ampasnya saja,   ku hembus-hembus gelas kaca bertuliskan sebuah merk antiseptik itu, kupaksakan sisa-sisa uap hangatnya mengarah kewajahku ini, dan kupastikan aku masih terjaga. Baru kali ini aku begitu menikmati kopi (barangkali karena ada campuran susunya), atau mungkin justru suasana subuh sperti ini yang ku nikmati, saat kurasakan ketentraman yang sialnya jarang aku rasakan. Aku sendiri sempat berpikir, bagaimana ampas kopi yang pahit ini bisa begitu dinikmati pecintanya, bagaimana ampas kopi yang hitam pekat ini bisa menjadi candu, bagaimana bisa sebuah inspirasi berasal dari  ampas kopi, dan beberapa bagaimana lagi yang berebut memperkosa pikiranku. Ah, persetan dengan itu semua, bukankah kita tinggal menikmatinya saja?

Namun aku jelas tidak bisa terima begitu saja pikiranku diperkosa hanya oleh ampas kopi, tapi bagaimana caraku membalas si ampas kopi bedebah itu? Oh iya, kenapa tidak ku analogikan kedalam kehidupanku saja? Memang semenjak memasuki fase remaja akhir kurang kusadari bahwa aku smakin bodoh saja, bahkan hanya untuk melawan ampas kopi. Aku juga baru ingat, aku ini mirip ampas kopi (hitam), muak aku dengan ampas kopi ini.

Saat menyeduh kopi, kita tahu betul apa yang hendak kita lakukan terhadap kopi itu, dan kita tentunya tahu, akan kembali menjadi ampas ktika habis nikmatnya. Satu seruput, dua seruput, kita terlalu menikmatinya, sehingga kita lupa bagaimana kopi ini akan berakhir. Menikmati setiap seruputan dari kehidupan sudah barang tentua dalah kebutuhan semua insan, namun ingatkah kita bahwa kenikmatan itu akan berakhir? Sampai disini aku sadar, sesungguhnya mengingat akhirnya itulah yang aku nikmati.

Pikiranku semakin tidak karuan saja, aku benci kalau sudah begini. Mereka datang berbondong-bondong, tidak saling mengenal, namun saling mencaci-maki satu sama lain, berusaha menjadi yang paling realistis. Aku sangat butuh bantuan lebih banyak lagi, namun siapa peduli? ku lampiaskan saja kepada selembar kertas yang tak tahu apa-apa, lalu kupaksa seenaku sendiri menterjemahkan beningnya kedua bola mataku yang sudah mulai kabur ini. Salah siapa ia tak mau protes, bukankah teman memang seharusnya begitu? Kalau sudah begini, ku alamatkan seluruh bebanku kepada kereta waktu yang menjemput panas mentari, yang akan mendaur ulangnya menjadi beban yang baru, demikiah setiap hari. Kusangka kereta itu kembali membawa kabar gembira.

Setidaknya kopi susu tadi membuatku lebih lama menikmati subuh ini, lebih lama merenungi smua yang ingin ku renungkan, berkatnya pula aku sadar harus bisa menentukan akhir dari segala yang ku buat, tentang semua.

Apakah kita semua harus pandai meracik kopi kita sendiri? pandaipun kita, ada waktunya kita meminta orang untuk membuatkan kopi bagi kita, nikmati apa yang kita buat sebelum terasa pahit ampasnya